Jakarta, 14 Mei 2020,- Kondisi Negara Indonesia Sekarang ini kurang stabil akibat dampak dari Virus Covid-19 yang tak kunjung reda. Kondisi kesehatan masyarakat dipertaruhkan dan tak kalah mengawatirkan kondisi ekonomi juga semangkin menurun. Presiden Jokowi juga sudah menyampaikan pada sidang kabinet terbuka bahwa Menteri Ketenagakerjaan juga harus fokus memperhatikan kondisi Perusahaan dan perlindungan Pekerja yang akan terdampak dari Covid-19 ini.
Alih-alih Menteri menjalankan instruksi Presiden malah Menteri mengambil kebijakan ekstrime yaitu mengeluarkan Surat Keputusan Pencabutan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (SIP3TKI) Terhadap 126 Perusahan yang selama ini Perusahaan tersebut sudah aktif membantu Pemerintah Indonesia dalam mengatasi kemiskinan dan penganggaran, juga sudah memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Keuangan Devisa Negara yang hampir 153 Teriliun Rupiah setiap per tahunya dari sumber remitansi (pengiriman uang) dari Pekerja Migrant Indonesia (PMI) yang bekerja di Luar Negeri.
Menurut Dato' Muhamad Zainul Arifin SH, MH, yang akrab disapa Dato' MZA, Selaku Kuasa Hukum dari Penggugat. Menteri mengklaim mengeluarkan kebijakan tersebut, lantaran menjalankan Pasal 54 ayat (1) UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migrant Indonesia, yang mengharuskan Perusahaan P3MI untuk menambah biaya Deposito disetor sebesar 1.5 Miliyar Rupiah, dari semula sebesar Rp 500 juta, sementara Pasal tersebut saat ini masih di Uji Materil di Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia dengan Nomor 83/PUU-XVII/2019. Dan Menteri mengeluarkan Permenaker No 10/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia, sebagai Peraturan turunan dari Pasal 54 yang juga di ajukan Uji Materi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Perkara Nomor 15P/HUM/2020. Atas dasar dua peraturan tersebut Menteri melaksanakan kebijakan ekstrime tersebut, akan tetapi menteri tidak melihat dan mempertimbangkan proses hukum uji menteri yang dijalankan di MK dan MA.
Dari 126 Perusahaan P3MI tersebut ada 9 Perusahaan P3MI yang melakukan Perlawanan Hukum terhadap Penguasa dalam hal ini Menteri Ketenagakerjaan yang dinilai telah merugikan kepentingan Penggugat dan telah melakukan perbuatan sewenang-wenangan dan jahu dari rasa keadilan. Maka kami mengajukan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan tersebut sudah didaftarkan dan akan dimulai sidang pekan depan tanggal 18 Mei 2020. Adapun 9 Perusahaan P3MI tersebut adalah PT. Herotama Indonusa, PT. Anugerah Usaha Jaya, PT. Bama Mapan Bahagia, PT. Leres Kahuripan Sejati, PT. Mutiara Karya Mitra, PT. Sentosa Karya Mandiri, PT. Sinar Harapan Anda, PT. Sukses Bersama Yatfuari dan PT. Bina Mandiri Mulia Raharja, dengan No Perkara 84, 85, 86, 87, 102, 103, 104, 105, 106 dan akan meyusul lebih bayak lagi Perusahaan P3MI yang merasa di zolimi untuk melakukan Perlawanan Hukum.
Adapun tujuan Gugatan tersebut untuk membatalkan Surat Keputusan Pencabutan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, yang telah dikeluarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan. Kami berpendapat Surat Keputusan tersebut telah mencederai dan melanggar Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku yang telah diamanatkan didalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa alasan-alasan yang digunakan dalam Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara adalah:
- Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).
Adapun Surat Keputusan tersebut diajukan Gugatan ke PTUN Jakarta dianggap bertantangan dengan Peraturan Perundangan-undangan yaitu UU No. 18/2017 tantang Perlindungan Pekerja Migrant Indonesia, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Permenaker No 10/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Dimana Menteri mengambil kebijakan tersebut tanpa didasari dengan langkah Sanksi Administratif dalam hal peringatan terlebih dahulu sebelum memberikan sanksi pencabutan izin. Sebab kebijakan Menteri tersebut dianggap tidak ada kondis hal yang mendesak dan merugikan kepentingan negara jika kebijakan tersebut tidak dilaksanakan, malah justru dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pencabutan izin tersebut, Negara mengalami kerugian disebabkan dampak imbas dari kebijakan tersebut mengakibatkan Perusahaan P3MI dan seluruh Perusahaan cabangnya tidak dapat lagi mejalankan operasional Perusahaanya sehingga mau tidak mau Perusahaan merumahkan (PHK) seluruh karyawan yg selama ini sudah bekerja. Bahkan lebih jahu dikawatirkan akan semangkin banyaknya TKI/PMI yang bekerja di Luar Negeri dengan Jalur tidak sah atau Non Prosedural/ilegal yang sekarang ini mangkin hari semangkin bertamba, dan Kami Merasa dirugikan akibat dikeluarkanya Surat Keputusan Pencabutan izin tersebut, diantaranya :
- Seluruh operasional Perusahaan hingga Cabang sudah berhenti tidak lagi menjalankan usahanya.
- Seluruh kesepakatan Job Order dengan Perusahaan di Negara Penempatan dibatalkan.
- Perjanjian sewa kantor yang sudah terlanjur dibayarkan
- Kerugian terhadap PMI yang gagal berangkat. dan
- Status PMI yang saat ini masih bekerja di negara penempatan
Menteri juga dinilai sudah melanggar Asas Kepastian Hukum dalam hal ini Asas Non-Retroaktif, yaitu suatu asas yang melarang keberlakuan surut dari suatu Peraturan Perundang-undangan, sama halnya dengan Objek Sengketa (SK Pencabutan) tidak dapat diberlakukan kepada Penggugat yang Surat Izin Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (SIPPTKI) yang masa berlakunya belum berakhir hingga tahun 2021 bahkan lebih. Bahwa satu aturan itu tidak boleh berlaku surut, namun ada pengecuali jika aturan tersebut tidak merugikan pencari hukum. Tapi bila aturan tersebut dinyatakan merugikan, maka tidak berlaku, sebab akan terjadi kekacawan hukum dan ketidak pastian hukum’; jika dianalogikan Contoh seperti "Jika ada seseorang membuat Surat Izin Mengemudi (SIM) tahun 2019 seharga Rp 350.000, namun karena ada perubahan Peraturan perundang-undangan tahun 2020 bahwa untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) harus membayar Rp 500.000, akibat perubahan peraturan tersebut maka org tersebut SIM nya dicabut dan dianggap tidak berlaku jika mau berlaku lagi harus bayar Rp 150.000 padahal masa berlaku SIM nya hingga 2021. Apakah ini adil? Terang Dato' MZA.
Dalam hal ini, bahwa Perusahaan P3MI adalah Perusahaan yang sudah belasan tahun berdiri dan menjalankan aktifitas sebagai Perusahaan P3MI jahu sebelum UU No. 18/2017 dan Pemenaker No. 10/2019 disahkan serta patuh dan tunduk terhadap Peraturan Perundang-undangan tidak pernah ada persolan hukum baik Pidana maupun Perdata. Akan tetapi tiba-tiba Menteri mengeluarkan Keputusan Pencabutan Izin atas dasar belum mampu membayar 1.5 M semantara dengan kondisi Dampak Covid-19 ini semua Perusahaan sedang diuji eksistensi nya dan terlebih lagi tidak dibenarkan lagi Perusahaan P3MI untuk melakukan kegiatan Penempatan terhadap Pekerja Migran Indonesia hingga Situasi Covid-19 dianggap membaik. Maka tidak tepat Menteri mengeluarkan kebijakan Pencabutan izin terhadap 9 Perusahaan P3MI yang saat ini izin SIP3MI nya masih berlaku. Namun akan tepat dan adil jika pada saat memperpanjang izin SIP3MI atau Perusahaan P3MI yang akan mohon izin baru.
Maka kami menyarankan Menteri untuk serius dan fokus terhadap perlindungan dan pelayanan terhadap PMI yang terdampak Covid-19 baik yang sedang bekerja di Negara Penempatan maupun PMI yang akan pulang ke kampung halaman dikarenakan habis masa kontrak kerja atau CPMI yang tertunda keberangkatan ke negara penempatan. Ketimbang fokus menekan dan menakuti-nakuti Perusahaan P3MI dan mencari uang 1.5 M diatas kertas. Lebih baik fokus terhadap instruksi Presiden untuk melindungi dan melayani Pekrja baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Terang Dato MZA.